Bagiku, memberikan mahkota kepada kedua orang tua adalah hal yang sangat membanggakan. Meski aku tidak bisa menjadi orang sukses di luar sana, aku yakin dengan mahkota itu, segalanya bisa terbayar.
Kata guru ngajiku, seorang anak yang bisa menjadi guru mengaji adalah pekerjaan yang mulia. Entah, segala hal yang dikatakan oleh guruku, tidak ada satupun yang aku ragukan. Hingga terbesit dalam hati untuk melanjutkan perjuangan dengan mondok di salah satu pesantren di Jawa Timur.
Bagi ayah dan ibu, aku yang posisinya anak pertama. Pergi ke pondok pesantren dengan jarak sangat jauh, merupakan perjuangan luar biasa. Baru pertama kali melepas anak gadisnya.
"Kamu yakin akan pergi mondok?" tanya ibu padaku.
"Yakin, Bu." Jawabku dengan lantang.
Kulihat raut wajahnya begitu sedih. Walaupun sebenarnya aku menahan kaca-kaca di bola mataku.
Setelahnya aku memutuskan untuk pergi mondok ke Jawa Timur, aku tidak tahu lagi bagaimana keadaan di rumah.
Sebab seterpuruk apa pun keadaannya, ibu selalu mengabulkan permintaanku. Ayah selalu berusaha agar apa yang aku butuhkan terpenuhi.
Aku yang belum bisa mandiri. Aku yang bisanya nelpon saat beberapa keperluan bulananku habis. Selain itu aku tidak pernah lagi menghubungi rumah.
**
Perjalanan menggunakan kereta api. Adalah pertama kalinya aku naik kereta. Dengan keterbatasan, ayah yang tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Terpaksa aku pergi dengan kakak sepupu yang juga mondok di sana.
Sepanjang perjalanan, terasa ada yang hilang. Wajah lusuh, perut lapar tapi tak nafsu makan. Pikiranku tertuju padanya. Seseorang yang kutinggalkan.
"Maaf, kita harus berakhir sampai di sini." Sebuah pesan singkat yang kukirim padanya tanpa kuberi alasan mengapa aku harus meninggalkannya.
Meninggalkan seseorang yang kita sayangi memang tidak mudah. Seperti aku yang kesulitan harus memberi alasan apa.
Tapi untungnya aku masih bisa membawa gawai. Bersikukuh aku ingin menghubunginya sekali lagi untuk memastikan bahwa aku pergi ke tempat yang sangat aman untukku.
"Assalamualaikum, Rian ini aku, Qila. Mulai saat ini aku tidak bisa menghubungimu setiap saat. Aku harus fokus dengan pendidikanku. Aku pergi bukan untuk meninggalkanmu. Suatu saat aku akan menghubungimu kembali. Kamu jaga diri kamu baik-baik di sana"
Kukirimkan pesan padanya lewat akun facebook. Derai air mata membasahi pipiku. Riyan memang hanya kekasih online, aku tidak pernah berjumpa dengannya. Tapi dia selalu ada di saat aku membutuhkannya.
Dialah satu-satunya tempatku menumpahkan segala perasaan.
"Kenapa? Kamu mau ke mana? Kenapa kamu tiba-tiba pergi?"
Riyan membalas pesanku secepat itu. Membuatku semakin tak tega. Dengan berat hati aku pun menutup akun facebookku. Meski aku tidak lagi main facebook, setidaknya aku masih menyimpan nomor telponnya.
-bersambung
Komentar
Posting Komentar