Langsung ke konten utama

[Part 1] Jejak Rasa


Bagiku, memberikan mahkota kepada kedua orang tua adalah hal yang sangat membanggakan. Meski aku tidak bisa menjadi orang sukses di luar sana, aku yakin dengan mahkota itu, segalanya bisa terbayar.

Kata guru ngajiku, seorang anak yang bisa menjadi guru mengaji adalah pekerjaan yang mulia. Entah, segala hal yang dikatakan oleh guruku, tidak ada satupun yang aku ragukan. Hingga terbesit dalam hati untuk melanjutkan perjuangan dengan mondok di salah satu pesantren di Jawa Timur.

Bagi ayah dan ibu, aku yang posisinya anak pertama. Pergi ke pondok pesantren dengan jarak sangat jauh, merupakan perjuangan luar biasa. Baru pertama kali melepas anak gadisnya.

"Kamu yakin akan pergi mondok?" tanya ibu padaku.

"Yakin, Bu." Jawabku dengan lantang.

Kulihat raut wajahnya begitu sedih. Walaupun sebenarnya aku menahan kaca-kaca di bola mataku.

Setelahnya aku memutuskan untuk pergi mondok ke Jawa Timur, aku tidak tahu lagi bagaimana keadaan di rumah. 

Sebab seterpuruk apa pun keadaannya, ibu selalu mengabulkan permintaanku. Ayah selalu berusaha agar apa yang aku butuhkan terpenuhi.

Aku yang belum bisa mandiri. Aku yang bisanya nelpon saat beberapa keperluan bulananku habis. Selain itu aku tidak pernah lagi menghubungi rumah.

**

Perjalanan menggunakan kereta api. Adalah pertama kalinya aku naik kereta. Dengan keterbatasan, ayah yang tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Terpaksa aku pergi dengan kakak sepupu yang juga mondok di sana.

Sepanjang perjalanan, terasa ada yang hilang. Wajah lusuh, perut lapar tapi tak nafsu makan. Pikiranku tertuju padanya. Seseorang yang kutinggalkan.

"Maaf, kita harus berakhir sampai di sini." Sebuah pesan singkat yang kukirim padanya tanpa kuberi alasan mengapa aku harus meninggalkannya.

Meninggalkan seseorang yang kita sayangi memang tidak mudah. Seperti aku yang kesulitan harus memberi alasan apa.

Tapi untungnya aku masih bisa membawa gawai. Bersikukuh aku ingin menghubunginya sekali lagi untuk memastikan bahwa aku pergi ke tempat yang sangat aman untukku.

"Assalamualaikum, Rian ini aku, Qila. Mulai saat ini aku tidak bisa menghubungimu setiap saat. Aku harus fokus dengan pendidikanku. Aku pergi bukan untuk meninggalkanmu. Suatu saat aku akan menghubungimu kembali. Kamu jaga diri kamu baik-baik di sana"

Kukirimkan pesan padanya lewat akun facebook. Derai air mata membasahi pipiku. Riyan memang hanya kekasih online, aku tidak pernah berjumpa dengannya. Tapi dia selalu ada di saat aku membutuhkannya.

Dialah satu-satunya tempatku menumpahkan segala perasaan. 

"Kenapa? Kamu mau ke mana? Kenapa kamu tiba-tiba pergi?"

Riyan membalas pesanku secepat itu. Membuatku semakin tak tega. Dengan berat hati aku pun menutup akun facebookku. Meski aku tidak lagi main facebook, setidaknya aku masih menyimpan nomor telponnya.

-bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Gemeretak Gigi

Selamat malam kalian yang mungkin pada saat ini sudab tertidur lelap saking nikmatnya tidur. Betapa bahagianya kalian yang bisa merasakan tidur tanpa gangguan sedikit pun. Entah ada angin apa, tiba-tiba aku ingin menceritakan tentang Teman Hidupku pada kalian. Teman yang sampai saat ini masih tumbuh dalam diriku entah sampai kapan. Sejak kecil, aku punya kebiasaan menggeretakan gigi saat sedang tidur. Kadang-kadang aku menyadarinya dan kadang pula aku tidak merasakan apa-apa.  Kebiasaan itu masih melekat erat dalam diriku sampai aku sedewasa ini. Dalam artikel yang aku baca, kebiasaan menggeretakan gigi adalah sebab dari stress yang terjadi dalam tubuhku, sehingga aku dengan tidak sadar sering melakukan itu.  Siapa sih yang ingin seperti itu? Tidak ada! Semua orang pasti ingin hidup normal. Hidup bebas tanpa ada gangguan dalam tubuhnya. Kadang-kadang aku suka mengeluh karena kalau aku tidur duluan, suara gemeretak gigi itu akan mengganggu orang yang tidur di dekatku. Ditamb

Tentangmu Yang Mulai Melupa

Aku tidak tahu dari mana awalnya aku ingin menulis ini. Aku hanya sedang rindu. Iya, rindu kamu yang lama tak menyapa. Sebenarnya untuk apa aku menulis ini. Rasanya tidak akan ada gunanya sama sekali. Berawal dari perasaan yang aku sendiri tidak tahu siapa tuannya. Rasa resah dan gelisah yang kerap menghantuikuu. Kamu yang belum tentu juga memikirkan perihal aku. Aku yang kepedean. Aku yang terlalu cinta atau terlalu berlebihan dalam menyikapi setiap peristiwa? Hingga aku harus menanggung semuanya sendirian. Di tahun ini, aku bukan lagi anak-anak. Aku semakin tumbuh menjadi perempuan dewasa. Usia dimana kedua orang tuaku sangat mengkhawatirkan perihal pasangan hidup. Tentang siapa yang aku suka. Siapa yang suka aku. Dan masih banyak lagi. Segala sesuatu yang mereka bilang, harus sangat dipertimbangkan. Apa itu? Entahlah. Kamu pernah suka sama seseorang? Kamu ingin hidup dengannya. Sampai kamu berangan-angan sangat jauh. Yang sudah jelas kamu sendiri tidak tahu akan jadi at

Surat Untuk Ayahnya Lelaki yang Kucintai

Untuk Ayah dari Lelaki yang Kucintai Assalamualaikum, Ayah. Perkenalkan saya Brina, seorang perempuan yang baru beberapa minggu ini mengenal anakmu. Ayah, izinkan saya memanggilmu Ayah meski kita tak ditakdirkan berjumpa sampai detik ini. Ayah, terima kasih telah mendidik anak lelaki yang lembut, serta penyayang. Seseorang yang selalu berusaha bertanggung jawab dengan apa yang telah ia katakan. Ayah, saya menulis ini, ingin kusampaikan padamu betapa saya sangat mencintai anakmu. Sejak ia melayangkan lamarannya padaku kala itu. Waktu yang sangat singkat tak terasa membuat saya sejatuh cinta ini padanya. Sebelumnya, saya tidak pernah berangan-angan untuk berkenalan dengannya, bahkan untuk menjadi pasangannya. Ayah, saya memang bukan perempuan yang baik. Bahkan saya tidak terlahir dari keluarga kaya. Saya hanya perempuan sederhana yang harus banyak menabung terlebih dahulu untuk mendapatkan yang saya inginkan. Tapi saya punya cinta yang tulus untuk anakmu. Sejak nama anakmu se